Kamis, 11 Oktober 2012

Makalah Manajemen Sumber Daya Manusia


Serikat Karyawan dan Pemutusan Hubungan Kerja ( PHK )
Kelompok 9
Tugas Manajemen Sumber Daya Manusia



DISUSUN OLEH :
1.      NITA EKA YULIA                          ( 25211194 )
2.      NURUL AZIZAH HIDAYAH       ( 27211863 )
3.      SARAH NATASHA                        ( 26211612 )
4.      SETELA WINDA                            ( 29211293 )
5.      SHELLA PRIANA PUTRI             ( 26211733 )

KELAS : 2EB20





UNIVERSITAS GUNADARMA
2012
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT, yang atas seizin-Nya kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah yang berjudul “Serikat Karyawan dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)”. Kami menyadari makalah ini masih terdapat banyak kekurangan, sehingga kami berharap akan mendapat masukan dari semua pihak (dosen, rekan-rekan dari kelompok lain, dan pembaca) guna perbaikan di masa-masa yang akan datang. Dalam penulisan makalah ini penulis juga menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan penelitian ini, khususnya kepada Ibu Anissah selaku dosen mata Kuliah Manajemen Sumber Daya Manusia.  Semoga apa yang telah kami kerjakan dapat bermanfaat bagi pengembangan diri kami dan bagisiapa saja yang membacanya.






Bekasi , 12 Oktober 2012




DAFTAR ISI
Kata Pengantar     ……………………………………………………..…………. 1
Daftar Isi       …………………………………………………………….………….. 2
Bab 1 . PENDAHULUAN …………………………………………………………… 3
1.1  Latar Belakang……………………………………………………………. 3
1.2 Rumusan Masalah………………………………………………………... 3
1.3 Tujuan Masalah…………………………………………………………… 3
Bab 2 . Pembahasan …………………………………………………………….. 4
2.1 Pengertian Serikat Karyawan    ……………………………………..…. 4
2.2 Tipe-tipe Serikat Karyawan         ………………………………………… 5
2.3 Struktur Serikat Karyawan           ………………………………………… 5
2.4 Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)      ………………………………… 6
2.5 Jenis-Jenis PHK       ………………………………………………………… 9
2.6 PHK Pada Kondisi Tidak Normal ( Tidak Sukarela )  ………………… 10
2.7 Mekanisme dan Penyelesaian  Perselisihan  PHK     ………………….12
Penyelesaian Perselisihan PHK         …………………………………………. 13
2.8  KOMPENSASI PHK   ………………………………………………………… 14
PENUTUP        ………………………………………………………………………… 16
3.1 Kesimpulan  ………………………………………………………………… 16
3.2 Saran ………………………………………………………………………... 16
REFERENSI     ………………………………………………………………………… 17




BAB I
PENDAHULUAN

1.1  Latar Belakang
Dalam kegiatan ekonomi, ada beberapa hal yang menjadi faktor penentu keberhasilan suatu perusahaan, diantaranya adalah baiknya sumber daya manusia yang dimiliki oleh perusahaan. Para manajer sangat sadar akan nilai investasi mereka dalam hal sumber daya manusia. Terbentuknya serikat karyawan ini dikarenakan rasa ketidakpuasan karyawan terhadap berbagai kondisi perusahaan. Hubungan ini meliputi negosiasi kontrak tertulis menyangkut gaji, jam kerja, ketentuan kerja dan intepretasi serta pelaksanaan kontrak selama jangka waktu berlakunya
Pemutusan Hubungan Kerja merupakan suatu hal yang pada beberapa tahun yang lalu merupakan suatu kegiatan yang sangat ditakuti oleh karyawan yang masih aktif bekerja. Hal ini dikarenakan kondisi kehidupan politik yang goyah, kemudian disusul dengan carut marutnya kondisi perekonomian yang berdampak pada banyak industri yang harus gulung tikar, dan tentu saja berdampak pada pemutusan hubungan kerja yang dilakukan dengan sangat tidak terencana.
1.2 Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa Definisi dari Serikat Karyawan?
2.  Jelaskan Tipe-Tipe Serikat Karyawan?              
3.  Apa Definisi dari PHK?
4.   Jelaskan Mekanisme dan Penyelesaian PHK?
5.  Bagaimana bentuk Penyelesaian Kompensasi PHK?
1.3 Tujuan Masalah
1. Mengetahui dengan jelas definisi dan jenis - jenis dari Serikat Karyawan.
2. Mengetahui dengan jelas definisi dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
3. Mengetahui Jenis-jenis dari Pemutusan Hubungan Kerja (PHK).
4.  Mengetahui Mekanisme pemberian PHK kepada karyawan dan cara penyelesaian perselisihan yang akan timbul setelah Pemutusan Hubungan Kerja dilakukan.
BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Pengertian Serikat Karyawan
Serikat karyawan (labour union atau trade union) adalah organisasi para pekerja yang dibentuk untuk mempromosikan atau menyatakan pendapat, melindungi, dan memperbaiki, melalui kegiatan kolektif, kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik para anggotanya. Kepentingan dominan yang diperjuangkan serikat karyawan tersebut adalah kepentingan ekonomi. Dalam bidang ini, berbagai keinginan dan permintaan akan kenaikan gaji atau upah, pengurangan jam kerja dan perbaikan kondisi-kondisi kerja adalah beberapa contoh kepentingan yang terpenting bagi serikat karyawan.
Kehadiran serikat kerja mengubah secara signifikan beberapa aktivitas sumber daya manusia. Proses perekrutan, prosedur seleksi, tingkat upah, kenaikan gaji, paket tunjangan, system keluhan, dan prosedur disiplin dapat berubah secara drastis disebabkan oleh ketentuan perjanjian perundingan kerja bersama (collective bargaining agreement). Tanpa kehadiran serikat pekerja, perusahaan leluasa mengambil keputusan unilateral menyangkut gaji, jam kerja, dan kondisi kerja. Keputusan ini dilakukan oleh perusahaan tanpa masukan atau persetujuan dari kalangan karyawan. Karyawan-karyawan yang tidak menjadi anggota serikat pekerja harus menerima persyaratan manajemen, menegosiasikannya dengan serikat pekerja dalam hal pengambilan keputusan bilateral (bilateral decision making) mengenai tingkat gaji, jam kerja, kondisi kerja, dan masalah keamanan kerja lainnya.
Alih-alih menghadapi setiap karyawan secara satu per satu, perusahaan harus berunding dengan seriakat pekerja yang mewakili kalangan pekerja.Serikat pekerja biasanya mencoba memperluas pengaruhnya ke dalam wilayah lain manajemen seperti penjadwalan kerja, penyusunan standar kerja, desain ulang pekerjaan, dan pengenalan peralatan dan metode baru. Perusahaan umumnya juga menolak pelanggaran batas ke dalam wilayah pengambilan keputusan ini dengan mengklaim bahwa persoalan tersebut merupakan hak prerogatif manajemen.




2.2. Tipe-Tipe Serikat Karyawan
A.  Craft Unions , Yaitu serikat karyawan yang anggotanya terdiri dari para karyawan atau pekerja yang mempunyai ketrampilan yang sama, seperti misal tukang-tukang kayu, tukang batu, dsb.
B.  Industrial Unions , Yaitu serikat karyawan yang dibentuk berdasar lokasi pekerjaan yang sama. Serikat ini terdiri dari para pekerja yang tidak berketrampilan (unskilled) maupun yang berketrampilan (skilled) yang ada dalam suatu perusahaan atau industri tertentu tanpa memperhatikan sifat pekerjaan mereka.
C. Mixed Unions , Yaitu serikat karyawan yang mencakup para pekerja terampil, tidak terampil dan setengah terampil dari suatu lokal tertentu tidak memandang dari industri mana. Bentuk serikat karyawan ini mengkombinasikan antara craft unions dan industrial unions.

2.3. Struktur Serikat Karyawan
Pada umumnya karyawan akan kehilangan kontak langsung dengan pimpinan atau pemilik perusahaan dengan semakin berkembangnya perusahaan tersebut. Kedaan ini menyababkan munculnya serikat-serikat karyawan untuk membantu para pekerja mempengaruhi keputusan-keputusan yang menyangkut pekerjaaan mereka. Melalui serikat karyawan, para pekerja dapat berupaya untuk mengendalikan “pekerjaan-pekerjaan” dan “lingkungan kerja” mereka.
Serikat karyawan local (local unions) merupakan bentuk basis organisasi buruh, dan bagian yang paling penting dari struktur serikat karyawan. Serikat karyawan lokal memberikan kepada para anggota “revenue” dan kekuatan penggerakan serikat secara keseluruhan. Serikat lokal ini sering disebut serikat buruh cabang. Selanjutnya, serikat karyawan berbagai cabang bergabubg dan membentuk serikat karyawan nasional (national unions).
Tugas serikat nasional ini adalah untuk mewakili karyawan dalam penyelesaiaan masalah-masalah yang kepentingannya bersifat nasional. Disamping itu, beberapa serikat karyawan bisa membentuk organisasi karyawan di tingkat daerah. Gabungan berbagai serikat karyawan di suatu daerah disebut serikat karyawan regional. Alasan yang mendasari terbentuknya serikat regional bisa merupakan persamaan kepentingan, keunikan masalah-masalah hubungan perburuhan secara geografis, jauhnya jarak antara serikat karyawan suatu cabang dengan cabang lain, atau sebab-sebab lainnya.


2.4 PEMUTUSAN HUBUNGAN KERJA (PHK)
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara karyawan dan perusahaan. Apabila kita mendengar istilah PHK, yang biasa terlintas adalah pemecatan sepihak oleh pihak perusahaan karena kesalahan karyawan. Karenanya, selama ini singkatan PHK memiliki konotasi negatif. Padahal, kalau kita tilik definisi di atas yang diambil dari UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, dijelaskan PHK dapat terjadi karena bermacam sebab. Intinya tidak persis sama dengan pengertian dipecat.
Menurut Tulus (1993:167), pemutusan hubungan kerja (separation) adalah mengembalikan karyawan ke masyarakat. Hal ini disebabkan karyawan pada umumnya belum meninggal dunia sampai habis masa kerjanya. Oleh karena itu perusahaan bertanggung jawab untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu yang timbul akibat dilakukannya tindakan pemutusan hubungan kerja. Menurut Hasibuan (2001: 205), pemberhentian adalah pemutusan hubungan kerja seseorang karyawan dengan suatu organisasi perusahaan. Tergantung alasannya, PHK mungkin membutuhkan penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI) mungkin juga tidak. Meski begitu, dalam praktek tidak semua PHK yang butuh penetapan dilaporkan kepada instansi ketenagakerjaan, baik karena tidak perlu ada penetapan, PHK tidak berujung sengketa hukum, atau karena karyawan tidak mengetahui hak mereka.
Sebelum Pengadilan Hubungan Industrial berdiri pada 2006, perselisihan hubungan Industrial masih ditangani pemerintah lewat Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Pusat (P4P) dan Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan Daerah (P4D) serta Pengadilan Tata Usaha Negara.
Beberapa alasan Pemutusan Hubungan Kerja :
• Undang-Undang
• Keinginan perusahaan
• Keinginan karyawan
• Pensiun
• Kontrak kerja berakhir
• Kesehatan karyawan
• Meninggal dunia
• Perusahaan dilikuidasi.
Tulus (1993:167) menyebutkan bahwa pemutusan hubungan kerja terjadi kalau salah satu pihak atau kedua belah pihak merasa rugi bilamana hubungan kerja tersebut dilanjutkan.
Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena:
1. kemauan karyawan,
2. kemauan perusahaan, atau
3. kemauan kedua belah pihak.
Alasan pemutusan hubungan kerja antara lain:
-ketidakjujuran,
-ketidakmampuan bekerja,
-malas,
-pemabok,
-ketidakpatuhan,
-kemangkiran, dan ketidakdisiplinan,
-usia lanjut,
-sakit-sakitan terus menerus,
-kemunduran perusahaan,
dan sebagainya.
Ad.1.: Undang-Undang
Undang-undang dapat menyebabkan seorang karyawan harus diberhentikan dari suatu perusahaan, misalnya karyawan anak-anak, karyawan WNA, atau karyawan yang terlibat organisasi terlarang.
Ad.2.: Keinginan Perusahaan:
-karyawan tidak mampu menyelesaikan pekerjaannya
-perilaku dan disiplinnya kurang baik
-melanggar peraturan-peraturan dan tata tertib perusahaan
-tidak dapat bekerja sama dan terjadi konflik dengan karyawan lain
-melakukan tindakan amoral dalam perusahaan
Ad.3.: Keinginan karyawan
Pemberhentian atas keinginan karyawan sendiri dengan mengajukan permohonan untuk berhenti dari perusahaan tersebut. Pada umumnya karyawan mengajukan permohonan berhenti karena beberapa alasan, antara lain:
-Pindah ke tempat lain
-Kesehatan yang kurang baik
-Untuk melanjutkan pendidikan
-Berwiraswasta
-Turnover karyawan akan menimbulkan kerugian bagi perusahaan. jika banyak karyawan berhenti atas keinginan sendiri, maka manajemen perusahaan dapat dikatakan kurang baik dan perlu dilakukan instrospeksi diri dari manajer. (Hasibuan, 2001: 208-209).
Ad.4.: Pensiun
Pensiun adalah pemberhentian karyawan atas keinginan perusahaan, undang-undang, ataupun keinginan karyawan sendiri. Keinginan perusahaan mempesiunkan karyawan karena produktivitas kerjanya rendah sebagai akibat usia lanjut, cacat fisik, kecelakaan dalam melaksanakan pekerjaan, dsb.
Ad.5.: Kontrak kerja berakhir
Pemberhentian berdasarkan berakhirnya kontrak kerja tidak menimbulkan konsekuensi karena telah diatur terlebih dahulu dalam perjanjian saat mereka diterima.
Ad.6.: Kesehatan karyawan
Kesehatan karyawan dapat menjadi alasan untuk pemberhentian karyawan. Inisiatif pemberhentian bisa berdasarkan keinginan perusahaan ataupun keinginan karyawan.
Ad.7.: Meninggal dunia
Karyawan yang meninggal dunia secara otomatis putus hubungan kerjanya dengan perusahaan. Perusahaan memberikan pesangon atau uang pensiun bagi keluarga yang ditinggalkan sesuai dengan pearturan yang ada.
Ad.8.: Perusahaan dilikuidasi
Karyawan akan dilepas jika perusahaan dilikuidasi atau ditutup karena bangkrut. Bangkrutnya perusahaan harus berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku, sedangkan karyawan yang dilepas harus mendapat pesangon sesuai dengan ketentuan pemerintah (Hasibuan, 2001: 2007-2009).
2.5 JENIS-JENIS PHK
1. PHK Pada Kondisi Normal (Sukarela)
Dalam kondisi normal, pemutusan hubungan kerja akan menghasilkan sesuatu keadaan yang sangat membahagiakan. Setelah menjalankan tugas dan melakukan peran sesuai dengan tuntutan perusahaan, dan pengabdian kepada perusahaan maka tiba saatnya seseorang untuk memperoleh penghargaan yang tinggi atas jerih payah dan usahanya tersebut.
Akan tetapi hal ini tidak terpisah dari bagaimana pengalaman bekerja dan tingkat kepuasan kerja seseorang selama memainkan peran yang dipercayakan kepadanya. Ketika seseorang mengalami kepuasan yang tinggi pada pekerjaannya, maka masa pensiun ini harus dinilai positif, artinya ia harus ikhlas melepaskan segala atribut dan kebanggaan yang disandangnya selama melaksanakan tugas, dan bersiap untuk memasuki masa kehidupan yang tanpa peran.
Kondisi yang demikian memungkinkan pula munculnya perasaan sayang untuk melepaskan jabatan yang telah digelutinya hampir lebih separuh hidupnya. Ketika seseorang mengalami peran dan perlakuan yang tidak nyaman, tidak memuaskan selama masa pengabdiannya, maka ia akan berharap segera untuk melepaskan dan meninggalkan pekerjaan yang digelutinya dengan susah payah selama ini. Orang ini akan memasuki masa pensiun dengan perasaan yang sedikit lega, terlepas dari himpitan yang dirasakannya selama ini.
Selain itu ada juga karyawan yang mengundurkan diri. Karyawan dapat mengajukan pengunduran diri kepada perusahaan secara tertulis tanpa paksaan/intimidasi. Terdapat berbagai macam alasan pengunduran diri, seperti pindah ke tempat lain, berhenti dengan alasan pribadi, dan lain-lain. Untuk mengundurkan diri, karyawan harus memenuhi syarat : (a) mengajukan permohonan selambatnya 30 hari sebelumnya, (b) tidak ada ikatan dinas, (c) tetap melaksanakan kewajiban sampai mengundurkan diri.
Undang-undang melarang perusahaan memaksa karyawannya untuk mengundurkan diri. Namun dalam prakteknya, pengunduran diri kadang diminta oleh pihak perusahaan. Kadang kala, pengunduran diri yang tidak sepenuhnya sukarela ini merupakan solusi terbaik bagi karyawan maupun perusahaan. Di satu sisi, reputasi karyawan tetap terjaga. Di sisi lain perusahaan tidak perlu mengeluarkan pesangon lebih besar apabila perusahaan harus melakukan PHK tanpa ada persetujuan karyawan. Perusahaan dan karyawan juga dapat membahas besaran pesangon yang disepakati.
Karyawan yang mengajukan pengunduran diri hanya berhak atas kompensasi seperti sisa cuti yang masih ada, biaya perumahan serta pengobatan dan perawatan, dll sesuai Pasal 156 (4). Karyawan mungkin mendapatakan lebih bila diatur lain lewat perjanjian. Untuk biaya perumahan terdapat silang pendapat antara karyawan dan perusahaan, terkait apakah karyawan yang mengundurkan diri berhak atas 15% dari uang pesangon dan penghargaan masa kerja.

2.6  PHK Pada Kondisi Tidak Normal (Tidak Sukarela)
Perkembangan suatu perusahaan ditentukan oleh lingkungan dimana perusahaan beroperasi dan memperoleh dukungan agar dirinya tetap dapat survive (Robbins, 1984). Tuntutan yang berasal dari dalam (inside stakeholder) maupun tuntutan dari luar (outside stakeholder) dapat memaksa perusahaan melakukan perubahan-perubahan, termasuk di dalam penggunaan tenaga kerja. Dampak dari perubahan komposisi sumber daya manusia ini antara lain ialah pemutusan hubungan kerja. Pada dewasa ini tuntutan lebih banyak berasal dari kondisi ekonomi dan politik global, perubahan nilai tukar uang yang pada gilirannya mempersulit pemasaran suatu produk di luar negeri, dan berimbas pada kemampuan menjual barang yang sudah jadi, sehingga mengancam proses produksi.
Manulang (1988) mengemukakan bahwa istilah pemutusan hubungan kerja dapat memberikan beberapa pengertian, yaitu :
a. Termination
:  yaitu putusnya hubungan kerja karena selesainya atau berakhirnya kontrak kerja yang telah disepakati. Berakhirnya kontrak, bilamana tidak terdapat kesepakatan antara karyawan dengan manajemen, maka karyawan harus meninggalkan pekerjaannya.
b. Dismissal
: yaitu putusnya hubungan kerja karena karyawan melakukan Tindakan pelanggaran disiplin yang telah ditetapkan. Misalnya : karyawan melakukan kesalahan-kesalahan, seperti mengkonsumsi alkohol atau obat-obat psikotropika, madat, melakukan tindak kejahatan, merusak perlengkapan kerja milik pabrik.
c. Redundancy
: yaitu pemutusan hubungan kerja karena perusahaan melakukan pengembangan dengan menggunakan mesin-mesin berteknologi baru, seperti : penggunaan robot-robot industri dalam proses produksi, penggunaan alat-alat berat yang cukup dioperasikan oleh satu atau dua orang untuk menggantikan sejumlah tenaga kerja. Hal ini berdampak pada pengurangan tenaga kerja.
d. Retrenchment
: yaitu pemutusan hubungan kerja yang dikaitkan dengan masalah-masalah ekonomi, seperti resesi ekonomi, masalah pemasaran, sehingga perusahaan tidak mampu untuk memberikan upah kepada karyawannya.
Flippo (1981) membedakan pemutusan hubungan kerja di luar konteks pensiun menjadi 3 kategori, yaitu :
a. Layoff
:  keputusan ini akan menjadi kenyataan ketika seorang karyawan yang benar-benar memiliki kualifikasi yang membanggakan harus dipurnatugaskan karena perusahaan tidak lagi membutuhkan sumbangan jasanya.
b. Outplacement
:  ialah kegiatan pemutusan hubungan kerja disebabkan perusahaan ingin mengurangi banyak tenaga kerja, baik tenaga profesional, manajerial, maupun tenaga pelaksana biasa. Pada umumnya perusahaan melakukan kebijakan ini untuk mengurangi karyawan yang performansinya tidak memuaskan, orang-orang yang tingkat upahnya telah melampaui batas-batas yang dimungkinkan, dan orang-orang yang dianggap kurang memiliki kompetensi kerja, serta orang-orang yang kurang memiliki kemampuan yang dapat dikembangkan untuk posisi di masa mendatang. Dasar dari kegiatan ini ialah kenyataan bahwa perusahaan mempunyai tenaga kerja yang skillnya masih dapat dijual kepada perusahaan lain, dan sejauh mana kebutuhan pasar terhadap keahlian atau skill ini masih tersembunyi.
c. Discharge
:  Kegiatan ini merupakan kegiatan yang menimbulkan perasaan paling tidak nyaman di antara beberapa metode pemutusan hubungan kerja yang ada. Kegiatan ini dilakukan berdasar pada kenyataan bahwa karyawan kurang mempunyai sikap dan perilaku kerja yang memuaskan.
Karyawan yang mengalami jenis pemutusan hubungan kerja ini kemungkinan besar akan mengalami kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan baru di tempat atau perusahaan lain. Dari dua pengertian tersebut di atas, nampaknya masalah pemutusan hubungan kerja, penyebabnya dapat disebabkan oleh dua pihak.
Baik penyebab yang berasal dari kualifikasi, sikap dan perilaku karyawan yang tidak memuaskan, atau penyebab yang berasal dari pihak manajemen yang seharusnya dengan keahliannya dan kewenangan yang diserahkan kepadanya diharapkan mampu mengembangkan perusahaan, walau dalam kenyataannya menimbulkan kesulitan-kesulitan bagi perusahaan, dan harus mengambil keputusan untuk efisiensi tenaga kerja.




2.7 MEKANISME DAN PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
• Mekanisme PHK
Karyawan, pengusaha dan pemerintah wajib untuk melakukan segala upaya untuk menghindari PHK. Apabila tidak ada kesepakatan antara pengusaha karyawan/serikatnya, PHK hanya dapat dilakukan oleh pengusaha setelah memperoleh penetapan Lembaga Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (LPPHI).
Selain karena pengunduran diri dan hal-hal tertentu dibawah ini, PHK harus dilakukan melalui penetapan Lembaga Penyelesaian Hubungan Industrial (LPPHI). Hal-hal tersebut adalah :
a. Karyawan masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya.
b. Karyawan mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali.
c. Karyawan mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan.
d. Karyawan meninggal dunia.
e. Karyawan ditahan.
f. Pengusaha tidak terbukti melakukan pelanggaran yang dituduhkan karyawan melakukan permohonan PHK. Selama belum ada penetapan dari LPPHI, karyawan dan pengusaha harus tetap melaksanakan segala kewajibannya. Sambil menunggu penetapan, pengusaha dapat melakukan skorsing, dengan tetap membayar hak-hak karyawan.
• Perselisihan PHK
Perselisihan PHK termasuk kategori perselisihan hubungan industrial bersama perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan. Perselisihan PHK timbul karena tidak adanya kesesuaian pendapat antara karyawan dan pengusaha mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan salah satu pihak. Perselisihan PHK antara lain mengenai sah atau tidaknya alasan PHK, dan besaran kompensasi atas PHK.

PENYELESAIAN PERSELISIHAN PHK
Mekanisme perselisihan PHK beragam dan berjenjang.
1. Perundingan Bipartit
Perundingan Bipartit adalah forum perundingan dua kaki antar pengusaha dan karyawan atau serikatpe kerja. Kedua belah pihak diharapkan dapat mencapai kesepakatan dalam penyelesaian masalah mereka, sebagai langkah awal dalam penyelesaian perselisihan.
Dalam perundingan ini, harus dibuat risalah yang ditandatangai para Pihak. isi risalah diatur dalam Pasal 6 Ayat 2 UU PPHI. Apabila tercapai kesepakatan maka Para pihak membuat Perjanjian Bersama yang mereka tandatangani. Kemudian Perjanjian Bersama ini didaftarkan pada PHI wilayah oleh para pihak ditempat Perjanjian Bersama dilakukan. Perlkunya menddaftarkan perjanjian bersama, ialah untuk menghindari kemungkinan slah satu pihak ingkar. Bila hal ini terjadi, pihak yang dirugikan dapat mengajukan permohonan eksekusi. Apabila gagal dicapai kesepakatan, maka karyawan dan pengusaha mungkin harus menghadapi prosedur penyelesaian yang panjang melalui Perundingan Tripartit.
2. Perundingan Tripartit
Dalam pengaturan UUK, terdapat tiga forum penyelesaian yang dapat dipilih oleh para pihak:
a. Mediasi
Forum Mediasi difasilitasi oleh institusi ketenagakerjaan. Dinas tenagakerja kemudian menunjuk mediator. Mediator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Dalam hal tercipta kesepakatan para pihak membuta perjanjian bersama dengan disaksikan oleh mediator. Bila tidak dicapai kesepakatan, mediator akan mengeluarkan anjuran.
b. Konsiliasi
Forum Konsiliasi dipimpin oleh konsiliator yang ditunjuk oleh para pihak. Seperti mediator, Konsiliator berusaha mendamaikan para pihak, agar tercipta kesepakatan antar keduanya. Bila tidak dicapai kesepakatan, Konsiliator juga mengeluarkan produk berupa anjuran.
c. Arbitrase
Lain dengan produk Mediasi dan Konsiliasi yang berupa anjuran dan tidak mengikat, putusan arbitrase mengikat para pihak. Satu-satunya langkah bagi pihak yang menolak putusan tersebut ialah permohonan Pembatalan ke Mahkamah Agung. Karena adanya kewajiban membayar arbiter, mekanisme arbitrase kurang populer.

3. Pengadilan Hubungan Industrial
Pihak yang menolak anjuran mediator/konsiliator, dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI). Pengadilan ini untuk pertamakalinya didirikan di tiap ibukota provinsi. Nantinya, PHI juga akan didirikan di tiap kabupaten/ kota. Tugas pengadilan ini antara lain mengadili perkara perselisihan hubungan industrial, termasuk perselisihan PHK, serta menerima permohonan dan melakukan eksekusi terhadap Perjanjian Bersama yang dilanggar.
Selain mengadili Perselisihan PHK, Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) mengadili jenis perselisihan lainnya: Perselisihan yang timbul akibat adanya perselisihan hak, perselisihan kepentingan dan perselisihan antar serikat karyawan.
2.8  KOMPENSASI PHK
Dalam hal terjadi pemutusan hubungan kerja, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon (UP) dan atau uang penghargaan masa kerja (UPMK) dan uang penggantian hak (UPH) yang seharusnya diterima. UP, UPMK, dan UPH dihitung berdasarkan upah karyawan dan masa kerjanya.
Perhitungan Uang Pesangon (UP) paling sedikit sebagai berikut :
Masa Kerja Uang Pesangon
• Masa kerja kurang dari 1 tahun, 1 (satu) bulan upah.
• Masa kerja 1 – 2 tahun, 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 2 – 3 tahun, 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 3 – 4 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 4 – 5 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 5 – 6 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 7 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 7 – 8 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 8 tahun atau lebih, 9 (sembilan) bulan upah.
Perhitungan uang penghargaan masa kerja (UPMK) ditetapkan sebagai berikut :
Masa Kerja UPMK
• Masa kerja 3 – 6 tahun 2 (dua) bulan upah.
• Masa kerja 6 – 9 tahun 3 (tiga) bulan upah.
• Masa kerja 9 – 12 tahun 4 (empat) bulan upah.
• Masa kerja 12 – 15 tahun 5 (lima) bulan upah.
• Masa kerja 15 – 18 tahun 6 (enam) bulan upah.
• Masa kerja 18 – 21 tahun 7 (tujuh) bulan upah.
• Masa kerja 21 – 24 tahun 8 (delapan) bulan upah.
• Masa kerja 24 tahun atau lebih 10 bulan upah.
Uang penggantian hak yang seharusnya diterima (UPH) meliputi :
• Cuti tahunan yang belum diambil dan belum gugur.
• Biaya atau ongkos pulang untuk karyawan/buruh dan keluarganya ketempat dimana karyawan/buruh diterima bekerja.
• Penggantian perumahan serta pengobatan dan perawatan ditetapkan 15% dari uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja bagi yang memenuhi syarat.
• Hal-hal lain yang ditetapkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian kerja bersama.















BAB III
Penutup


    3.1  Kesimpulan
Serikat karyawan (labour union atau trade union) adalah organisasi para pekerja yang dibentuk untuk mempromosikan atau menyatakan pendapat, melindungi, dan memperbaiki, melalui kegiatan kolektif, kepentingan-kepentingan sosial, ekonomi, dan politik para anggotanya. Kehadiran serikat kerja ini mengubah secara signifikan beberapa aktivitas sumber daya manusia. Hal ini disebabkan oleh ketentuan perjanjian perundingan kerja bersama (collective bargaining agreement).
PHK sebagai manifestasi pensiun yang dilaksanakan pada kondisi tidak normal nampaknya masih merupakan ancaman yang mencemaskan karyawan. Dunia industri negara maju yang masih saja mencari upah buruh yang murah, senantiasa berusaha menempatkan investasinya di negara-negara yang lebih menjanjikan keuntungan yang besar, walaupun harus menutup dan merelokasi atau memindahkan pabriknya ke Negara lain. Keadaan ini tentu saja berdampak PHK pada karyawan di negara yang ditinggalkan. Efisiensi yang diberlakukan oleh perusahaan pada dewasa ini, merupakan jawaban atas penambahan posisi-posisi yang tidak perlu di masa lalu, sehingga dilihat secara struktur organisasi, maka terjadi penggelembungan yang sangat besar.
Ketika tuntutan efisiensi harus dipenuhi, maka restrukturisasi merupakan jawabannya. Di sini tentu saja terjadi pemangkasan posisi besar-besaran, sehingga PHK masih belum dapat dihindarkan. Ketika perekonomian dunia masih belum adil, dan program efisiensi yang dilakukan oleh para manajer terus digulirkan, maka PHK masih merupakan fenomena yang sangat mencemaskan, dan harus diantisipasi dengan penyediaan lapangan kerja dan pelatihan ketrampilan yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat (mantan karyawan).

3.2 SARAN
Adapun saran yang dapat kami berikan dalam makalah ini adalah, hendaknya dalam melakukan Pemutusan hubungan kerja harus sesuai dengan Undang-Undang Ketenagakerjaan yang berlaku di Indonesia agar tidak akan ada pihak-pihak yang merasa dirugikan.

REFERENSI

Moekijat. Manajemen Tenaga Kerjadaaan Hubungan Kerja.2003.CV Point Jaya: Bandung.
Grenshing L, Human. Resources Book: Manajemen Sumber Daya Manusia untuk Bisnis.2008. Prenada Media Group: Jakarta.
Handoko, H. Manajemen Personalia dan Sumber Daya Manusia. 2001. BPFE Yogyakarta: Yogyakarta.
Strauss, G. MANAJEMEN PERSONALIA Segi Manusia dalam Organisasi. 1990. IPPM dan PT Pustaka Binaman Pressindo: Jakarta.
Simamora, Henry. Manajemen Sumber Daya Manusia. 2006. STIE YKPN: Jakarta Selatan.

Teknik penulisan makalah ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah: Skripsi, Tesis, Disertasi, Artikel, Makalah, Laporan Penelitian.Universitas Negeri Malang (UM, 2007).


Tidak ada komentar:

Posting Komentar