Moral dan Etika Dalam Dunia Bisnis
a. Moral Dalam Dunia Bisnis
Sejalan dengan berakhirnya pertemuan para pemimpin APEC di Osaka Jepang
dan dengan diperjelasnya istilah untuk menjadikan Asia Pasifik ditahun
2000 menjadi daerah perdagangan yang bebas sehingga baik kita batas
dunia akan semakin "kabur" (borderless) world. Hal ini jelas membuat
semua kegiatan saling berpacu satu sama lain untuk mendapatkan
kesempatan (opportunity) dan keuntungan (profit). Kadang kala untuk
mendapatkan kesempatan dan keuntungan tadi, memaksa orang untuk
menghalalkan segala cara mengindahkan ada pihak yang dirugikan atau
tidak.
Dengan kondisi seperti ini, pelaku bisnis kita jelas akan semakin
berpacu dengan waktu serta negara-negara lainnya agar terwujud suatu
tatanan perekonomian yang saling menguntungkan. Namun perlu kita
pertanyakan apakah yang diharapkan oleh pemimpin APEC tersebut dapat
terwujud manakala masih ada bisnis kita khususnya dan internasional
umumnya dihinggapi kehendak saling "menindas" agar memperoleh tingkat
keuntungan yang berlipat ganda. Inilah yang merupakan tantangan bagi
etika bisnis kita.
Jika kita ingin mencapai target pada tahun 2000 an, ada saatnya dunia
bisnis kita mampu menciptakan kegiatan bisnis yang bermoral dan
beretika, yang terlihat perjalanan yang seiring dan saling membutuhkan
antara golongan menengah kebawah dan pengusaha golongan keatas. Apakah
hal ini dapat diwujudkan ?
Berbicara tentang moral sangat erat kaitannya dengan pembicaraan agama
dan budaya, artinya kaidah-kaidah dari moral pelaku bisnis sangat
dipengaruhi oleh ajaran serta budaya yang dimiliki oleh pelaku-pelaku
bisnis sendiri. Setiap agama mengajarkan pada umatnya untuk memiliki
moral yang terpuji, apakah itu dalam kegiatan mendapatkan keuntungan
dalam ber-"bisnis". Jadi, moral sudah jelas merupakan suatu yang terpuji
dan pasti memberikan dampak positif bagi kedua belah pihak. Umpamanya,
dalam melakukan transaksi, jika dilakukan dengan jujur dan konsekwen,
jelas kedua belah pihak akan merasa puas dan memperoleh kepercayaan satu
sama lain, yang pada akhirnya akan terjalin kerja sama yang erat saling
menguntungkan.
Moral dan bisnis perlu terus ada agar terdapat dunia bisnis yang
benar-benar menjamin tingkat kepuasan, baik pada konsumen maupun
produsen. Kenapa hal perlu ini dibicarakan?
Isu yang mencuat adalah semakin pesatnya perkembangan informasi tanpa
diimbangi dengan dunia bisnis yang ber "moral", dunia ini akan menjadi
suatu rimba modern yang di kuat menindas yang lemah sehingga apa yang
diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 dan GBHN untuk menciptakan keadilan dan
pemerataan tidak akan pernah terwujud.
Moral lahir dari orang yang memiliki dan mengetahui ajaran agama dan
budaya. Agama telah mengatur seseorang dalam melakukan hubungan dengan
orang sehingga dapat dinyatakan bahwa orang yang mendasarkan bisnisnya
pada agama akan memiliki moral yang terpuji dalam melakukan bisnis.
Berdasarkan ini sebenarnya moral dalam berbisnis tidak akan bisa
ditentukan dalam bentuk suatu peraturan (rule) yang ditetapkan oleh
pihak-pihak tertentu. Moral harus tumbuh dari diri seseorang dengan
pengetahuan ajaran agama yang dianut budaya dan dimiliki harus mampu
diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari.
b. Etika Dalam Dunia Bisnis
Apabila moral merupakan sesuatu yang mendorong orang untuk melakukan
kebaikan etika bertindak sebagai rambu-rambu (sign) yang merupakan
kesepakatan secara rela dari semua anggota suatu kelompok. Dunia bisnis
yang bermoral akan mampu mengembangkan etika (patokan/rambu-rambu) yang
menjamin kegiatan bisnis yang seimbang, selaras, dan serasi.
Etika sebagai rambu-rambu dalam suatu kelompok masyarakat akan dapat
membimbing dan mengingatkan anggotanya kepada suatu tindakan yang
terpuji (good conduct) yang harus selalu dipatuhi dan dilaksanakan.
Etika di dalam bisnis sudah tentu harus disepakati oleh orang-orang yang
berada dalam kelompok bisnis serta kelompok yang terkait lainnya.
Mengapa ?
Dunia bisnis, yang tidak ada menyangkut hubungan antara pengusaha dengan
pengusaha, tetapi mempunyai kaitan secara nasional bahkan
internasional. Tentu dalam hal ini, untuk mewujudkan etika dalam
berbisnis perlu pembicaraan yang transparan antara semua pihak, baik
pengusaha, pemerintah, masyarakat maupun bangsa lain agar jangan hanya
satu pihak saja yang menjalankan etika sementara pihak lain berpijak
kepada apa yang mereka inginkan. Artinya kalau ada pihak terkait yang
tidak mengetahui dan menyetujui adanya etika moral dan etika, jelas apa
yang disepakati oleh kalangan bisnis tadi tidak akan pernah bisa
diwujudkan. Jadi, jelas untuk menghasilkan suatu etika didalam berbisnis
yang menjamin adanya kepedulian antara satu pihak dan pihak lain tidak
perlu pembicaraan yang bersifat global yang mengarah kepada suatu aturan
yang tidak merugikan siapapun dalam perekonomian.
Dalam menciptakan etika bisnis, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, antara lain ialah
* Pengendalian diri
Artinya, pelaku-pelaku bisnis dan pihak yang terkait mampu mengendalikan
diri mereka masing-masing untuk tidak memperoleh apapun dari siapapun
dan dalam bentuk apapun. Disamping itu, pelaku bisnis sendiri tidak
mendapatkan keuntungan dengan jalan main curang dan menekan pihak lain
dan menggunakan keuntungan dengan jalan main curang dan menakan pihak
lain dan menggunakan keuntungan tersebut walaupun keuntungan itu
merupakan hak bagi pelaku bisnis, tetapi penggunaannya juga harus
memperhatikan kondisi masyarakat sekitarnya. Inilah etika bisnis yang
"etis".
* Pengembangan tanggung jawab sosial (social responsibility)
Pelaku bisnis disini dituntut untuk peduli dengan keadaan masyarakat,
bukan hanya dalam bentuk "uang" dengan jalan memberikan sumbangan,
melainkan lebih kompleks lagi. Artinya sebagai contoh kesempatan yang
dimiliki oleh pelaku bisnis untuk menjual pada tingkat harga yang tinggi
sewaktu terjadinya excess demand harus menjadi perhatian dan kepedulian
bagi pelaku bisnis dengan tidak memanfaatkan kesempatan ini untuk
meraup keuntungan yang berlipat ganda. Jadi, dalam keadaan excess demand
pelaku bisnis harus mampu mengembangkan dan memanifestasikan sikap
tanggung jawab terhadap masyarakat sekitarnya.
* Mempertahankan jati diri dan tidak mudah untuk terombang-ambing oleh pesatnya perkembangan informasi dan teknologi
Bukan berarti etika bisnis anti perkembangan informasi dan teknologi,
tetapi informasi dan teknologi itu harus dimanfaatkan untuk meningkatkan
kepedulian bagi golongan yang lemah dan tidak kehilangan budaya yang
dimiliki akibat adanya tranformasi informasi dan teknologi.
* Menciptakan persaingan yang sehat
Persaingan dalam dunia bisnis perlu untuk meningkatkan efisiensi dan
kualitas, tetapi persaingan tersebut tidak mematikan yang lemah, dan
sebaliknya, harus terdapat jalinan yang erat antara pelaku bisnis besar
dan golongan menengah kebawah, sehingga dengan perkembangannya
perusahaan besar mampu memberikan spread effect terhadap perkembangan
sekitarnya. Untuk itu dalam menciptakan persaingan perlu ada
kekuatan-kekuatan yang seimbang dalam dunia bisnis tersebut.
* Menerapkan konsep “pembangunan berkelanjutan"
Dunia bisnis seharusnya tidak memikirkan keuntungan hanya pada saat
sekarang, tetapi perlu memikirkan bagaimana dengan keadaan dimasa
mendatang. Berdasarkan ini jelas pelaku bisnis dituntut tidak
meng-"ekspoitasi" lingkungan dan keadaan saat sekarang semaksimal
mungkin tanpa mempertimbangkan lingkungan dan keadaan dimasa datang
walaupun saat sekarang merupakan kesempatan untuk memperoleh keuntungan
besar.
* Menghindari sifat 5K (Katabelece, Kongkalikong, Koneksi, Kolusi dan Komisi)
Jika pelaku bisnis sudah mampu menghindari sikap seperti ini, kita yakin
tidak akan terjadi lagi apa yang dinamakan dengan korupsi, manipulasi
dan segala bentuk permainan curang dalam dunia bisnis ataupun berbagai
kasus yang mencemarkan nama bangsa dan negara.
* Mampu menyatakan yang benar itu benar
Artinya, kalau pelaku bisnis itu memang tidak wajar untuk menerima
kredit (sebagai contoh) karena persyaratan tidak bisa dipenuhi, jangan
menggunakan "katabelece" dari "koneksi" serta melakukan "kongkalikong"
dengan data yang salah. Juga jangan memaksa diri untuk mengadakan
“kolusi" serta memberikan "komisi" kepada pihak yang terkait.
* Menumbuhkan sikap saling percaya antara golongan pengusaha kuat dan golongan pengusaha kebawah
Untuk menciptakan kondisi bisnis yang "kondusif" harus ada saling
percaya (trust) antara golongan pengusaha kuat dengan golongan pengusaha
lemah agar pengusaha lemah mampu berkembang bersama dengan pengusaha
lainnya yang sudah besar dan mapan. Yang selama ini kepercayaan itu
hanya ada antara pihak golongan kuat, saat sekarang sudah waktunya
memberikan kesempatan kepada pihak menengah untuk berkembang dan
berkiprah dalam dunia bisnis.
* Konsekuen dan konsisten dengan aturan main yang telah disepakati bersama
Semua konsep etika bisnis yang telah ditentukan tidak akan dapat
terlaksana apabila setiap orang tidak mau konsekuen dan konsisten dengan
etika tersebut. Mengapa? Seandainya semua ketika bisnis telah
disepakati, sementara ada "oknum", baik pengusaha sendiri maupun pihak
yang lain mencoba untuk melakukan "kecurangan" demi kepentingan pribadi,
jelas semua konsep etika bisnis itu akan "gugur" satu semi satu.
* Menumbuhkembangkan kesadaran dan rasa memiliki terhadap apa yang telah disepakati
Jika etika ini telah memiliki oleh semua pihak, jelas semua memberikan suatu ketentraman dan kenyamanan dalam berbisnis.
* Perlu adanya sebagian etika bisnis yang dituangkan dalam suatu hukum positif yang berupa peraturan perundang-undangan
Hal ini untuk menjamin kepastian hukum dari etika bisnis tersebut,
seperti "proteksi" terhadap pengusaha lemah. Kebutuhan tenaga dunia
bisnis yang bermoral dan beretika saat sekarang ini sudah dirasakan dan
sangat diharapkan semua pihak apalagi dengan semakin pesatnya
perkembangan globalisasi dimuka bumi ini.
Dengan adanya moral dan etika dalam dunia bisnis serta kesadaran semua
pihak untuk melaksanakannya, kita yakin jurang itu akan dapat diatasi,
serta optimis salah satu kendala dalam menghadapi tahun 2000 dapat
diatasi.
Senin, 27 Oktober 2014
Sabtu, 04 Oktober 2014
GCG dan Perilaku Etika dalam Prosesi Akuntansi
GOOD CORPORATE
GOVERNANCE (GCG)
A.
Definisi Good Corporate Governance (GCG)
Sebagai sebuah
konsep, GCG ternyata tak memiliki definisi tunggal. Komite Cadburry, misalnya,
pada tahun 1992 – melalui apa yang dikenal dengan sebutan Cadburry Report
– mengeluarkan definisi tersendiri tentang GCG. Menurut Komite Cadburry, GCG
adalah prinsip yang mengarahkan dan mengendalikan perusahaan agar mencapai
keseimbangan antara kekuatan serta kewenangan perusahaan dalam memberikan
pertanggungjawabannya kepada para shareholders khususnya, dan stakeholders
pada umumnya. Tentu saja hal ini dimaksudkan pengaturan kewenangan Direktur,
manajer, pemegang saham, dan pihak lain yang berhubungan dengan perkembangan
perusahaan di lingkungan tertentu.
Sejumlah negara juga mempunyai definisi tersendiri
tentang GCG. Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak
mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD),
umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung
jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan
haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan
nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu fokus utama di
sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang
mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability,
dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank)
menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability,
Transparency, Predictability dan Participation. Pengertian
lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut
lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk
mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah
peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di
tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai
“pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut
“tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih
terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun
tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola
perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih diperlukan
kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang benar.
Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahwa Good
Corporate Governance merupakan:
1. Suatu struktur yang mengatur pola
hubungan harmonis tentang peran dewan komisaris, Direksi, Pemegang Saham dan
Para Stakeholder lainnya.
2. Suatu sistem pengecekan dan
perimbangan kewenangan atas pengendalian perusahaan yang dapat membatasi
munculnya dua peluang: pengelolaan yang salah dan penyalahgunaan aset
perusahaan.
3. Suatu proses yang transparan atas
penentuan tujuan perusahaan, pencapaian, berikut pengukuran kinerjanya.
B.
Arti penting Good Corporate Governance (GCG)
GCG diperlukan untuk mendorong
terciptanya pasar yang efisien, transparan dan konsisten dengan peraturan
perundang-undangan. Penerapan GCG perlu didukung oleh tiga pilar yang saling
berhubungan, yaitu negara dan perangkatnya sebagai regulator, dunia usaha
sebagai pelaku pasar, dan masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia
usaha. Prinsip dasar yang harus dilaksanakan oleh masing-masing pilar adalah:
- Negara dan perangkatnya menciptakan peraturan perundang-undangan yang menunjang iklim usaha yang sehat, efisien dan transparan, melaksanakan peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum secara konsisten (consistent law enforcement) .
- Dunia usaha sebagai pelaku pasar menerapkan GCG sebagai pedoman dasar pelaksanaan usaha.
- Masyarakat sebagai pengguna produk dan jasa dunia usaha serta pihak yang terkena dampak dari keberadaan perusahaan, menunjukkan kepedulian dan melakukan kontrol sosial (social control) secara obyektif dan bertanggung jawab.
Good Corporate Governance (Tata Kelola Perusahaan) adalah suatu subjek yang memiliki banyak aspek.
Salah satu topik utama dalam tata kelola perusahaan adalah menyangkut masalah akuntabilitas
dan tanggung jawab/ mandat, khususnya implementasi pedoman dan mekanisme untuk
memastikan perilaku yang baik dan melindungi kepentingan pemegang saham. Fokus
utama lain adalah efisiensi ekonomi yang menyatakan bahwa sistem tata kelola
perusahaan harus ditujukan untuk mengoptimalisasi hasil ekonomi, dengan
penekanan kuat pada kesejahteraan para pemegang saham. Ada pula sisi lain yang
merupakan subjek dari tata kelola perusahaan, seperti sudut pandang pemangku
kepentingan, yang menunjuk perhatian dan akuntabilitas lebih terhadap pihak-pihak
lain selain pemegang saham, misalnya karyawan atau lingkungan.
Sampai saat ini para ahli tetap menghadapi kesulitan
dalam mendefinisikan GCG yang dapat mengakomodasikan berbagai kepentingan.
Tidak terbentuknya definisi yang akomodatif bagi semua pihak yang berkepentingan
dengan GCG disebabkan karena cakupan GCG yang lintas sektoral. Definisi CGC
menurut Bank Dunia adalah aturan, standar dan organisasi di bidang ekonomi yang
mengatur perilaku pemilik perusahaan, direktur dan manajer serta perincian dan
penjabaran tugas dan wewenang serta pertanggungjawabannya kepada investor
(pemegang saham dan kreditur). Tujuan utama dari GCG adalah untuk menciptakan
sistem pengendaliaan dan keseimbangan (check and balances) untuk
mencegah penyalahgunaan dari sumber daya perusahaan dan tetap mendorong
terjadinya pertumbuhan perusahaan.
Inti dari kebijakan tata kelola perusahaan adalah agar
pihak-pihak yang berperan dalam menjalankan perusahaan memahami dan menjalankan
fungsi dan peran sesuai wewenang dan tanggung jawab. Pihak yang berperan
meliputi pemegang saham, dewan komisaris, komite, direksi, pimpinan unit dan
karyawan.
Konsep Good Corporate Governance (GCG) adalah
konsep yang sudah saatnya diimplementasikan dalam perusahaan-perusahaan yang
ada di Indonesia, karena melalui konsep yang menyangkut struktur perseroan,
yang terdiri dari unsur-unsur RUPS, direksi dan komisaris dapat terjalin
hubungan dan mekanisme kerja, pembagian tugas, kewenangan dan tanggung jawab
yang harmonis, baik secara intern maupun ekstern dengan tujuan meningkatkan
nilai perusahaan demi kepentingan shareholders dan stakeholders.
- C. Prinsip-prinsip dalam Good Corporate Governance (GCG)
Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2007
prinsip-prinsip Good Corporate Governance harus mencerminkan pada
hal-hal sebagai berikut :
1.
Transparency (Keterbukaan Informasi)
Yaitu
keterbukaan yang diwajibkan oleh Undang-undang seperti misalnya mengumukan
pendirin PT dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia ataupun Surat Kabar.
Serta keterbukaan yang dilakukan oleh perusahaan menyangkut masalah keterbukaan
informasi ataupun dalam hal penerapan management keterbukaan, informasi
kepemilikan Perseroan yang akurat, jelas dan tepat waktu baik kepada
share holders maupun stakeholder.
Dalam mewujudkan transparansi ini sendiri, perusahaan
harus menyediakan informasi yang cukup, akurat, dan tepat waktu kepada berbagai
pihak yang berkepentingan dengan perusahaan tersebut. Setiap perusahaan,
diharapkan pula dapat mempublikasikan informasi keuangan serta informasi
lainnya yang material dan berdampak signifikan pada kinerja perusahaan secara
akurat dan tepat waktu. Selain itu, para investor harus dapat mengakses
informasi penting perusahaan secara mudah pada saat diperlukan.
Ada banyak manfaat yang bisa dipetik dari penerapan
prinsip ini. Salah satunya, stakeholder dapat mengetahui risiko yang
mungkin terjadi dalam melakukan transaksi dengan perusahaan. Kemudian, karena
adanya informasi kinerja perusahaan yang diungkap secara akurat, tepat waktu,
jelas, konsisten, dan dapat diperbandingkan, maka dimungkinkan terjadinya
efisiensi pasar. Selanjutnya, jika prinsip transparansi dilaksanakan dengan
baik dan tepat, akan dimungkinkan terhindarnya benturan kepentingan (conflict
of interest) berbagai pihak dalam manajemen.
- 2. Accountability (Dapat Dipertanggungjawabkan)
- 3. Responsibility (Pertanggungjawaban)
Adanya
keterbukaan informasi dalam bidang financial dalam hal ini ada dua pengendalian
yang dilakukan oleh direksi dan komisaris. Direksi menjalankan operasional
perusahaan, sedangkan komisaris melakukan pengawasan terhadap jalannya
perusahaan oleh Direksi, termasuk pengawasan keuangan. Sehingga sudah
sepatutnya dalam suatu perseroan, Komisaris Independent mutlak diperlukan
kehadirannya. Sehingga adanya jaminan tersedianya mekanisme, peran dan tanggung
jawab jajaran manajemen yang professional atas semua keputusan dan kebijakan
yang diambil sehubungan dengan aktivitas operasional perseroan.
Pertanggungjawaban perusahaan adalah kesesuaian
(patuh) di dalam pengelolaan perusahaan terhadap prinsip korporasi yang sehat
serta peraturan perundangan yang berlaku. Peraturan yang berlaku di sini
termasuk yang berkaitan dengan masalah pajak, hubungan industrial, perlindungan
lingkungan hidup, kesehatan/ keselamatan kerja, standar penggajian, dan
persaingan yang sehat.
Beberapa contoh mengenai hal ini dapat dijelaskan
sebagai berikut :
- Kebijakan sebuah perusahaan makanan untuk mendapat sertifikat “HALAL”. Ini merupakan bentuk pertanggungjawaban kepada masyarakat. Lewat sertifikat ini, dari sisi konsumen, mereka akan merasa yakin bahwa makanan yang dikonsumsinya itu halal dan tidak merasa dibohongi perusahaan. Dari sisi Pemerintah, perusahaan telah mematuhi peraturan perundang-undangan yang berlaku (Peraturan Perlindungan Konsumen). Dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut akan menjamin loyalitas konsumen sehingga kelangsungan usaha, pertumbuhan, dan kemampuan mencetak laba lebih terjamin, yang pada akhirnya memberi manfaat maksimal bagi pemegang saham.
- Kebijakan perusahaan mengelola limbah sebelum dibuang ke tempat umum. Ini juga merupakan pertanggungjawaban kepada publik. Dari sisi masyarakat, kebijakan ini menjamin mereka untuk hidup layak tanpa merasa terancam kesehatannya tercemar. Demikian pula dari sisi Pemerintah, perusahaan memenuhi peraturan perundang-undangan lingkungan hidup. Sebaliknya dari sisi perusahaan, kebijakan tersebut merupakan bentuk jaminan kelangsungan usaha karena akan mendapat dukungan pengamanan dari masyarakat sekitar lingkungan.
- 4. Fairness (Kewajaran)
Secara sederhana kewajaran (fairness) bisa
didefinisikan sebagai perlakuan yang adil dan setara di dalam memenuhi hak-hak stakeholder
yang timbul berdasarkan perjanjian serta peraturan perundangan yang berlaku.
Fairness juga mencakup
adanya kejelasan hak-hak pemodal, sistem hukum dan penegakan peraturan untuk
melindungi hak-hak investor – khususnya pemegang saham minoritas – dari
berbagai bentuk kecurangan. Bentuk kecurangan ini bisa berupa insider
trading (transaksi yang melibatkan informasi orang dalam), fraud (penipuan),
dilusi saham (nilai perusahaan berkurang), KKN, atau keputusan-keputusan yang
dapat merugikan seperti pembelian kembali saham yang telah dikeluarkan,
penerbitan saham baru, merger, akuisisi, atau pengambil-alihan perusahaan lain.
Fairness diharapkan
membuat seluruh aset perusahaan dikelola secara baik dan prudent
(hati-hati), sehingga muncul perlindungan kepentingan pemegang saham secara fair
(jujur dan adil). Fairness juga diharapkan memberi perlindungan kepada
perusahaan terhadap praktek korporasi yang merugikan seperti disebutkan di
atas. Pendek kata, fairness menjadi jiwa untuk memonitor dan menjamin
perlakuan yang adil di antara beragam kepentingan dalam perusahaan.
Namun seperti halnya sebuah prinsip, fairness
memerlukan syarat agar bisa diberlakukan secara efektif. Syarat itu berupa
peraturan dan perundang-undangan yang jelas, tegas, konsisten dan dapat
ditegakkan secara baik serta efektif. Hal ini dinilai penting karena akan
menjadi penjamin adanya perlindungan atas hak-hak pemegang saham manapun, tanpa
ada pengecualian. Peraturan perundang-undangan ini harus dirancang sedemikian
rupa sehingga dapat menghindari penyalahgunaan lembaga peradilan (litigation
abuse). Di antara (litigation abuse) ini adalah
penyalahgunaan ketidakefisienan lembaga peradilan dalam mengambil keputusan
sehingga pihak yang tidak beritikad baik mengulur-ngulur waktu kewajiban yang
harus dibayarkannya atau bahkan dapat terbebas dari kewajiban yang harus
dibayarkannya.
Prinsip GCG yang paling relevan dengan pengembangan
sistem dan mekanisme internal perusahaan adalah accountability.
Berdasarkan prinsip ini, pertama-tama masing-masing komponen perusahaan,
seperti komisaris, direksi, internal auditor dituntut untuk mengerti hak,
kewajiban, wewenang dan tanggung jawabnya. Hal tersebut penting sehingga
masing-masing komponen mampu melaksanakan tugas secara professional.
Dengan demikian masing-masing pihak baik Direksi
maupun Komisaris perlu mengamankan investasi dan aset perusahaan. Dalam hal ini
Direksi harus memiliki sistem dan pengawasan internal, yang meliputi bidang
keuangan, operasional, risk management dan kepatuhan (compliance).
Sedangkan Komisaris menjaga agar tidak terjadi mismanagement dan penyalahgunaan
wewenang oleh Direksi dan para pejabat eksekutif perusahaan.
- D. Tujuan Penerapan Good Corporate Governance
Penerapan sistim GCG diharapkan dapat meningkatkan
nilai tambah bagi semua pihak yang berkepentingan (stakeholders) melalui beberapa
tujuan berikut:
- Meningkatkan efisiensi, efektifitas, dan kesinambungan suatu organisasi yang memberikan kontribusi kepada terciptanya kesejahteraan pemegang saham, pegawai dan stakeholders lainnya dan merupakan solusi yang elegan dalam menghadapi tantangan organisasi kedepan
- Meningkatkan legitimasi organisasi yang dikelola dengan terbuka, adil, dan dapat dipertanggungjawabkan
- Mengakui dan melindungi hak dan kewajiban para share holders dan stakeholders.
Dalam menerapkan nilai-nilai Tata Kelola Perusahaan,
Perseroan menggunakan pendekatan berupa keyakinan yang kuat akan manfaat dari
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik. Berdasarkan keyakinan yang
kuat, maka akan tumbuh semangat yang tinggi untuk menerapkannya sesuai standar
internasional. Guna memastikan bahwa Tata Kelola Perusahaan diterapkan secara
konsisten di seluruh lini dan unit organisasi, Perseroan menyusun berbagai
acuan sebagai pedoman bagi seluruh karyawan. Selain acuan yang disusun sendiri,
Perseroan juga mengadopsi peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dalam hal penerapan prinsip GCG harus disadari bahwa
penerapan Tata Kelola Perusahaan yang baik hanya akan efektif dengan adanya
asas kepatuhan dalam kegiatan bisnis sehari-hari, terlebih dahulu diterapkan
oleh jajaran manajemen dan kemudian diikuti oleh segenap karyawan. Melalui
penerapan yang konsisten, tegas dan berkesinambungan dari seluruh pelaku
bisnis.
Dengan pemberlakukan Undang-undang No. 40 Tahun 2007
tentang Perseroan Terbatas akankah implementasi GCG di Indonesia akan terwujud
? Hal ini tergantung pada penerapan dan kesadaran dari perseroan tersebut akan
pentingnya prinsip GCG dalam dunia usaha.
- E. Manfaat dan Faktor Penerapan GCG
Seberapa jauh perusahaan memperhatikan prinsip-prinsip
dasar GCG telah semakin menjadi faktor penting dalam pengambilan keputusan
investasi. Terutama sekali hubungan antara praktik corporate governance
dengan karakter investasi internasional saat ini. Karakter investasi ini
ditandai dengan terbukanya peluang bagi perusahaan mengakses dana melalui ‘pool
of investors’ di seluruh dunia. Suatu perusahaan dan atau negara yang ingin
menuai manfaat dari pasar modal global, dan jika kita ingin menarik modal
jangka panjang yang, maka penerapan GCG secara konsisten dan efektif akan
mendukung ke arah itu. Bahkan jikapun perusahaan tidak bergantung pada
sumber daya dan modal asing, penerapan prinsip dan praktik GCG akan dapat
meningkatkan keyakinan investor domestik terhadap perusahaan.
Di samping hal-hal tersebut di atas, GCG juga dapat:
- Mengurangi agency cost, yaitu suatu biaya yang harus ditanggung pemegang saham sebagai akibat pendelegasian wewenang kepada pihak manajemen. Biaya-biaya ini dapat berupa kerugian yang diderita perusahaan sebagai akibat penyalahgunaan wewenang (wrong-doing), ataupun berupa biaya pengawasan yang timbul untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
- Mengurangi biaya modal (cost of capital), yaitu sebagai dampak dari pengelolaan perusahaan yang baik tadi menyebabkan tingkat bunga atas dana atau sumber daya yang dipinjam oleh perusahaan semakin kecil seiring dengan turunnya tingkat resiko perusahaan.
- Meningkatkan nilai saham perusahaan sekaligus dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut kepada publik luas dalam jangka panjang.
4. Menciptakan dukungan para stakeholder
(para pihak yang berkepentingan) dalam lingkungan perusahaan tersebut terhadap
keberadaan dan berbagai strategi dan kebijakan yang ditempuh perusahaan, karena
umumnya mereka mendapat jaminan bahwa mereka juga mendapat manfaat maksimal
dari segala tindakan dan operasi perusahaan dalam menciptakan kemakmuran dan
kesejahteraan.
Faktor Eksternal
Yang dimakud faktor eksternal adalah beberapa faktor
yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan
penerapan GCG. Di antaranya:
a. Terdapatnya sistem hukum yang
baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan
efektif.
b. Dukungan pelaksanaan GCG dari
sektor publik/ lembaga pemerintahaan yang diharapkan dapat pula melaksanakan Good
Governance dan Clean Government menuju Good Government Governance
yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan
GCG yang tepat (best practices) yang dapat menjadi standard pelaksanaan
GCG yang efektif dan profesional. Dengan kata lain, semacam benchmark
(acuan).
- Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan GCG di masyarakat. Ini penting karena lewat sistem ini diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi GCG secara sukarela.
- Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi GCG terutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik di mana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan skor perusahaan dalam implementasi GCG.
Faktor Internal
Maksud faktor
internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanaan praktek GCG yang berasal
dari dalam perusahaan. Beberapa faktor dimaksud antara lain:
a. Terdapatnya budaya
perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan GCG dalam
mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan.
b. Berbagai peraturan dan kebijakan
yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada penerapan nilai-nilai GCG.
c. Manajemen pengendalian risiko
perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar GCG.
d. Terdapatnya sistem audit
(pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap
penyimpangan yang mungkin akan terjadi.
e. Adanya keterbukaan informasi bagi
publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan
sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah
perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.
Komentar Saya :
Good Corporate Governance (GCG) telah
menjadi sebuah istilah dan gerakan yang hangat dibicarakan dalam 10 tahun
terakhir ini. Tidak dapat dipungkiri, institusi-institusi seperti World Bank,
IMF, OECD, APEC, dan ADB turut mendorong tuntutan penerapan GCG secara
konsisten dan komprehensif di berbagai perusahaan, khususnya setelah krisis
Asia dan collapse-nya beberapa perusahaan raksasa di Amerika Serikat dan
Eropa di penghujung tahun 90-an dan awal tahun 2000-an.
Sehubungan dengan itu, hingga saat ini istilah GCG itu
sendiri belum mendapatkan padanan yang tepat dalam bahasa Indonesia. Banyak
perusahaan tetap menggunakan istilah GCG. Istilah – GCG – merujuk pada
pengertian yang sama yakni sebagai:
Suatu pola hubungan, sistem, dan proses yang digunakan
oleh organ perusahaan (BOD, BOC, dan RUPS) guna memberikan nilai tambah kepada
pemegang saham secara berkesinambungan dalam jangka panjang, dengan tetap
memperhatikan kepentingan para stakeholder lainnya, berlandaskan
peraturan perundangan dan norma yang berlaku.
Perilaku Etika dalam Profesi Akuntansi
1.
Akuntansi sebagai Profesi dan Peran Akuntan
Akuntan
sebagai suatu profesi dituntut untuk mengikuti perkembangan dunia yang semakin
global. Profesi akuntan Indonesia di masa yang akan datang menghadapi tantangan
yang semakin berat, terutama jika dikaitkan dengan berlakunya kesepakatan
Internasional mengenai pasar bebas. Profesi akuntan Indonesia harus menanggapi
tantangan tersebut secara kritis khususnya mengenai keterbukaan pasar jasa yang
berarti akan member peluang yang besar sekaligus memberikan tantangan yang
semakin berat. Kantor akuntan Indonesia dapat memperluas jaringan operasinya
dengan mendirikan kantor cabang di luar negeri, dimana hal tersebut tentunya
merupakan peluang yang sangat menguntungkan. Tantangan yang muncul adalah
masuknya kantor-kantor akuntan asing ke Indonesia yang tentunya mengancam
eksistensi profesi akuntan Indonesia. Kesiapan yang menyangkut profesionalisme
profesi mutlak diperlukan untuk menghadapi tantangan yang muncul akibat pasar
bebas tersebut. Menurut Machfoedz (1997), profesionalisme suatu profesi
mensyaratkan tiga hal utama yang harus dipunyai oleh setiap anggota profesi
tersebut, yaitu: keahlian (skill), karakter (character), dan pengetahuan
(knowledge).
Timbul
dan berkembangnya profesi akuntan publik di suatu negara adalah sejalan dengan
berkembangnya perusahaan dan berbagai bentuk badan hukum perusahaan di negara
tersebut. Jika perusahaan-perusahaan di suatu negara berkembang sedemikian rupa
sehingga tidak hanya memerlukan modal dari pemiliknya, namun mulai memerlukan
modal dari kreditur, dan jika timbul berbagai perusahaan berbentuk badan hukum
perseroan terbatas yang modalnya berasal dari masyarakat, jasa akuntan publik
mulai diperlukan dan berkembang. Dari profesi akuntan publik inilah masyarakat
kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas tidak memihak terhadap
informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen perusahaan.
Dalam
menjalankan profesinya seorang akuntan di Indonesia diatur oleh suatu kode etik
profesi dengan nama kode etik Ikatan Akuntan Indonesia. Kode etik Ikatan
Akuntan Indonesia merupakan tatanan etika dan prinsip moral yang memberikan
pedoman kepada akuntan untuk berhubungan dengan klien, sesama anggota profesi
dan juga dengan masyarakat. Selain dengan kode etik akuntan juga merupakan alat
atau sarana untuk klien, pemakai laporan keuangan atau masyarakat pada umumnya,
tentang kualitas atau mutu jasa yang diberikannya karena melalui serangkaian
pertimbangan etika sebagaimana yang diatur dalam kode etik profesi. Peran
akuntan antara lain :
a)
Akuntan Publik (Public Accountants)
Akuntan
publik atau juga dikenal dengan akuntan eksternal adalah akuntan independen
yangmemberikan jasa-jasanya atas dasar pembayaran tertentu. Akuntan publik
merupakan satu-satunya profesi akuntansi yang menyediakan jasa audit yang
bersifat independen. Yaitu memberikan jasa untuk memeriksa, menganalisis,
kemudian memberikan pendapat / asersi atas laporan keuangan perusahaan sesuai
dengan prinsip akuntansi berterima umum.Mereka bekerja bebas dan umumnya
mendirikan suatu kantor akuntan. Yang termasuk dalam kategori akuntan publik
adalah akuntan yang bekerja pada kantor akuntan publik (KAP) dan dalam
prakteknya sebagai seorang akuntan publik dan mendirikan kantor akuntan,
seseorang harus memperoleh izin dari Departemen Keuangan. Seorang akuntan
publik dapat melakukan pemeriksaan (audit), misalnya terhadap jasaperpajakan,
jasa konsultasi manajemen, dan jasa penyusunan system manajemen.
b)
Akuntan Intern (Internal Accountant)
Akuntan
intern adalah akuntan yang bekerja dalam suatu perusahaan atau organisasi.
Akuntanintern ini disebut juga akuntan perusahaan atau akuntan manajemen.
Jabatan tersebut yang dapat diduduki mulai dari Staf biasa sampai dengan Kepala
Bagian Akuntansi atau Direktur Keuangan. tugas mereka adalah menyusun sistem
akuntansi, menyusun laporan keuangan kepada pihak-pihak eksternal, menyusun
laporan keuangan kepada pemimpin perusahaan, menyusun anggaran, penanganan
masalah perpajakan dan pemeriksaan intern.
c)
Akuntan Manajemen
Akuntan manajemen merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa bertugas atau bekerja di perusahaan-perusahaan. Akuntan manajemen bertugas untuk membuat laporan keuangan di perusahaan
Akuntan manajemen merupakan sebuah profesi akuntansi yang biasa bertugas atau bekerja di perusahaan-perusahaan. Akuntan manajemen bertugas untuk membuat laporan keuangan di perusahaan
d)
Akuntan Pemerintah (Government Accountants)
Akuntan
pemerintah adalah akuntan yang bekerja pada lembaga-lembaga pemerintah,
misalnya dikantor Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP), Badan
Pengawas Keuangan (BPK).
e)
Konsultan SIA / SIM
Salah satu profesi atau pekerjaan yang bisa dilakukan oleh akuntan diluar pekerjaan utamanya adalah memberikan konsultasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sistem informasi dalam sebuah perusahaan.Seorang Konsultan SIA/SIM dituntut harus mampu menguasai sistem teknologi komputerisasi disamping menguasai ilmu akuntansi yang menjadi makanan sehari-harinya. Biasanya jasa yang disediakan oleh Konsultan SIA/SIM hanya pihak-pihak tertentu saja yang menggunakan jasanya ini.
Salah satu profesi atau pekerjaan yang bisa dilakukan oleh akuntan diluar pekerjaan utamanya adalah memberikan konsultasi mengenai berbagai hal yang berkaitan dengan sistem informasi dalam sebuah perusahaan.Seorang Konsultan SIA/SIM dituntut harus mampu menguasai sistem teknologi komputerisasi disamping menguasai ilmu akuntansi yang menjadi makanan sehari-harinya. Biasanya jasa yang disediakan oleh Konsultan SIA/SIM hanya pihak-pihak tertentu saja yang menggunakan jasanya ini.
f) Akuntan
Pendidik
Akuntan
pendidik adalah akuntan yang bertugas dalam pendidikan akuntansi, melakukan
penelitian dan pengembangan akuntansi, mengajar, dan menyusun kurikulum
pendidikan akuntansi di perguruan tinggi.
2.
Ekspektasi Publik
Masyarakat
umumnya mempersepsikan akuntan sebagai orang yang profesional dibidang
akuntansi. Ini berarti bahwa mereka mempunyai sesuatu kepandaian yang lebih
dibidang ini dibandingkan dengan orang awam. Selain itu masyarakat pun berharap
bahwa para akuntan mematuhi standar dan tata nilai yang berlaku dilingkungan
profesi akuntan, sehingga masyarakat dapat mengandalkan kepercayaannya terhadap
pekerjaan yang diberikan. Dengan demikian unsur kepercayaan memegang
peranan yang sangat penting dalam hubungan antara akuntan dan pihak-pihak yang
berkepentingan. Dalam hal ini, seorang akuntan dipekerjakan oleh sebuah organisasi
atau KAP, tidak akan ada undang-undang atau kontrak tanggung jawab terhadap
pemilik perusahaan atau publik.Walaupun demikian, sebagaimana tanggung jawabnya
pada atasan, akuntan professional publik mengekspektasikannya untuk
mempertahankan nilai-nilai kejujuran, integritas, objektivitas, serta
pentingannya akan hak dan kewajiban dalam perusahaan.
3.
Nilai-nilai Etika vs Teknik Akuntansi/Auditing
a)
Integritas
Setiap
tindakan dan kata-kata pelaku profesi menunjukan sikap transparansi, kejujuran
dan konsisten.
b)Kerjasama
Mempunyai
kemampuan untuk bekerja sendiri maupun dalam tim
c) Inovasi
Pelaku
profesi mampu memberi nilai tambah pada pelanggan dan proses kerja dengan
metode baru.
d)Simplisitas
Pelaku
profesi mampu memberikan solusi pada setiap masalah yang timbul, dan masalah
yang kompleks menjadi lebih sederhana.
Teknik
akuntansi (akuntansi technique) adalah aturan aturan khusus yang diturunkan
dari prinsip prinsip akuntan yang menerangkan transaksi transaksi dan kejadian
kejadian tertentu yang dihadapi oleh entitas akuntansi tersebut.
4.
Perilaku Etika dalam Pemberian Jasa Akuntan Publik
Masyarakat,
kreditur dan investor mengharapkan penilaian yang bebas serta tidak memihak
terhadap informasi yang disajikan dalam laporan keuangan oleh manajemen
perusahaan. Profesi akuntan publik menghasilkan berbagai jasa bagi masyarakat,
antara lain:
a)
Jasa Assurance
adalah jasa profesional independen yang meningkatkan mutu informasi bagi
pengambil keputusan.
b)
Jasa Atestasi
terdiri dari audit, pemeriksaan (examination), review, dan prosedur yang
disepakati (agreed upon procedure). Jasa atestasi adalah suatu pernyataan
pendapat, pertimbangan orang yang independen dan kompeten tentang apakah asersi
suatu entitas sesuai dalam semua hal yang material dan kriteria yang telah
ditetapkan.
c)
Jasa Non Assurance
adalah jasa yang dihasilkan oleh akuntan publik yang tidak memberikan
suatu pendapat, keyakinan negatif, ringkasan temuan, atau bentuk lain
keyakinan.
Setiap
profesi yang menyediakan jasanya kepada masyarakat memerlukan kepercayaan dari
masyarakat yang dilayaninya. Kepercayaan masyarakat terhadap mutu jasa akuntan
publik akan menjadi lebih tinggi, jika profesi tersebut menerapkan standar mutu
tinggi terhadap pelaksanaan pekerjaan profesional yang dilakukan oleh anggota
profesinya. Aturan Etika Kompartemen Akuntan Publik merupakan etika profesional
bagi akuntan yang berpraktik sebagai akuntan publik Indonesia. Aturan Etika
Kompartemen Akuntan Publik bersumber dari prinsip etika yang ditetapkan oleh Ikatan
Akuntan Indonesia.
Sumber
:
Miko Kamal, Undang Undang PT dan Harapan
Implementasi GCG, www.alf.com, 2008
Sita Supomo, Corporate Social Responsibility (CSR)
dalam Prinsip GCG, Email:
http://madewahyudisubrata.blogspot.com/2013/12/perilaku-etika-dalam-profesi-akuntansi.html
Langganan:
Postingan (Atom)